Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Di Indonesia, ada 16 zona mega-thrust yang dibentuk dari interaksi lempeng-lempeng. Zona-zona ini tersebar di sejumlah daerah, yaitu:1). Aceh-Andaman ; 2) Nias-Simeulue ; 3) Kepulauan Batu; 4) Mentawai-Siberut; 5) Mentawai–Pagai; 6) Enggano; 7) Selat Sunda Banten; 8) Selatan Jawa Barat; 9. Selatan Jawa Tengah-Jawa Timur; 10) Selatan Bali; 11) Selatan NTB; 12) Selatan NTT; 13) Laut Banda Selatan; 14) Laut Banda Utara; 15) Utara Sulawesi; 16) Subduksi Lempeng Laut Filipina.
Keterdapatan zona mega-thrust di Indonesia bukan hal baru karena sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan Indonesia. Sebagai sebuah area sumber gempa, zona ini dapat memunculkan gempa bumi dengan berbagai magnitudo dan kedalaman. Gempa mega-thrust dianggap menakutkan karena dianggap selalu bermagnitudo besar (di atas 8) dan memicu tsunami. Namun, gempa mega-thrust ini tidak akan terjadi apabila titik fokus gempa terdapat pada bagian dalam atau pada intra-plate yang menghasilkan gempa dalam (lebih dari 10 km).
Setiap zona subduksi mempunyai potensi gempa yang berbeda-beda yang sangat tergantung dari gerak dan kedalamannya. Demikian pula tidak semua gempa mega-thrust akan menimbulkan tsunami karena pembentukan tsunami mempunyai syarat tertentu diantaranya yaitu kekuatan gempa yang besar (diatas 7,4 SR), hiposenter atau titik gempa dangkal (kurang dari 10 km) dan ada bidang geser vertikal. Itulah yang menyebabkan terkadang gempa terjadi pada zona mega-thrusttetapi dengan magnitude yang relatif rendah (dibawah 7) dan tidak menimbulkan gelombang tsunami seperti yang terjadi di Banten 2 Agustus kemarin. Di sisi lain, pergerakan sesar Palu-Koro yang bukan merupakan zona subduksi dan bukan merupakan mega-thrust mampu menghasilkan tsunami besar akibat magnitudo gempanya yang cukup besar (7,5 SR) dan adanya pergerakan vertikal dari sesar geser yang disertai dengan longsoran bawah laut.
Akhir-akhir ini zona mega-thrust yang banyak dikaji adalah kelompok mega-thrust yang terletak dari barat Sumatera sampai dengan selatan Jawa yang sering disebut dengan Sunda mega-thrust. Kelompok mega-thrust ini bertanggung jawab terhadap rangkaian gempa-gempa dan tsunami besar dari Aceh di tahun 2004 sampai dengan Jogjakarta di tahun 2010. Keberadaan zona mega-thrust ini tentu saja harus disikapi dengan serius, mengingat siklus kejadian mega–thrust yang berbeda satu sama lainnya.
Sebagai contoh berdasarkan catatan katalog gempa, gempa dan tsunami Aceh pada tahun 2004 silam mempunyai siklus sekitar 300-an tahun yang artinya setiap sekitar 300-an tahun bencana ini akan terjadi dengan waktu ketidakpastian antara 10–20 tahun. Untuk zona mega-thrust lainnya mempunyai siklus yang bervariasi antara 100– 70 tahun. Ada saat dimana siklus beberapa zona mega-thrust bertemu di waktu yang tidak berjauhan, sehingga terkesan gempa besar terjadi di waktu yang hampir bersamaan dan membentuk rentetan gempa bumi. Hal ini yang tercermin pada kurun waktu 20 tahun belakangan ini, dimana siklus gempa besar muncul di awali pada tahun 2004 di Aceh dan diikuti oleh gempa-gempa lainnya sampai dengan gempa Jogja, setelah sebelumnya gempa besar yang berasosiasi dengan mega-thrust hanya terjadi di Banyuwangi pada tahun 1996 dan terkahir kali gempa besar lainnya terekam pada tahun 1887 di Krakatau.Salah satu pertimbangan adanya wacana pemindahan ibu Kota dari Jakarta ke daerah lain di Kalimantan yang sangat ramai dibicarakan adalah fenomena sunda mega-thrust ini.
Namun, belum ada teknologi di dunia ini yang dapat melakukan prediksi dengan tepat dan akurat tentang waktu terjadinya gempa. Para peneliti telah mampu untuk melakukan pemetaan tentang zona-zona rawan gempa bumi dan tsunami, namun masih sangat awam ketika berbicara tentang waktu kejadian.
Semua wilayah yang dekat dengan mega-thrust sudah selayaknya mempunyai sistem mitigasi bencana yang kuat. Masyarakat yang hidup di wilayah ini harus mempunyai tingkat pemahaman atau literasi tentang gempa bumi yang tinggi, sehingga ketika sewaktu-waktu mega-thrust ini terjadi, masyarakat sudah terlatih untuk melakukan evakuasi mandiri dan tangguh dalam menghadapinya.
Program-program pembangunan baik fisik maupun non fisik harus menjadikan faktor kebencanaan ini sebagai pijakan utama. Rencana tata ruang wilayah sudah harus direvisi dan menjadikan aspek kebencanaan sebagai parameter utama dalam membagi peruntukan wilayah baik di level kabupaten maupun provinsi. Bangunan-bangunan pencegah tsunami baik yang struktural seperti bangunan pencegah tsunami maupun non-struktural seperti penanaman pohon di pinggir laut harus dibangun untuk meredam tenaga tsunami yang datang suatu saat nanti.
Pengetahuan tentang kebencanaan, terutama gempa dan tsunami harus masuk ke dalam kurikulum pendidikan formal maupun non formal. Hal ini penting agar tingkat literasi semakin tinggi. Dilevel pergurun tinggi, isu kebencanaan ini harus dijadikan mainstream dalam tridarma perguruan tinggi, terutama topik dan kajian bidang penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Harus tercipta ahli-ahli bencana yang handal yang diharapkan mampu menemukan formulasi yang efektif dalam upaya mitigasi lewat hasil penelitian dosen-dosen dan mahasiswa dari universitas yang ada di wilayah rentan ini. Kearifan dan tradisi budaya lokal yang berisi tentang kebencanaan hendaknya dihidupkan kembali sebagai upaya peningkatan pemahaman akan bencana.
Diharapkan dengan adanya usaha mitigasi ini, akan terbentuk masyarakat yang tangguh akan bencana yang pada akhirnya akan terbentuk negara yang tangguh bencana.