Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Lembaga swadaya masyarakat Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menuding bahwa telah terjadi penguasaan lahan sawit yang masif oleh segelintir pengusaha. Karena penguasaan lahan yang besar itu, mereka bisa menikmati keuntungan besar dari perputaran bisnis tersebut.
Namun, menurut Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, tidak ada yang salah dengan situasi tersebut. “Tak ada yang salah soal penguasaan lahan sawit oleh perusahan-perusahaan besar. Penguasaan lahan itu tidak berdiri sendiri karena ada aturannya. Pemerintah, di zaman Pak Harto, membuat kebijakan supaya ada pengembangan industri sawit yang masif. Pemerintah memberikan izin sebanyak-banyaknya dan ada aturannya,” ujar Joko di Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Menurutnya, justru di zaman Pak Harto, pemerintah memberikan izin besar-besaran. Pemerintah memberikan kredit murah supaya industri sawit di Tanah Air menjadi besar. Nah, yang bisa melalukan itu tentu pengusaha besar. Namun, mesti dilihat juga bahwa tanpa ada yang besar, kebun rakyat juga tak akan ada. Keberadaan perusahaan besar ini menjadi pengaruh untuk pengembangan industri secara luas.
Perusahaan-perusahaan besar diberi kesempatan luas untuk ekspansi, kemudian jadi pemantik untuk pengembangan perkebunan rakyat sehingga terbentuk rantai suplai antara perkebunan rakyat dengan perusahaan. “Bahwa ada penguasaan lahan yang besar oleh pengusaha besar, itu memang didesain oleh kebijakan pemerintah. Kita perlu investasi besar. Tidak ada yang salah dengan penguasaan lahan tersebut,” tuturnya.
Terkait dengan moratorium lahan sawit, Joko menilai, sudah menjadi kebijakan pemerintah saat ini dan tidak ada masalah dengan kebijakan tersebut. “Ada waktunya ekspansi besar-besaran, ada waktunya dikendalikan, ada waktunya diberhentikan. Hal itu biasa bagi dunia usaha. Kami mendukung kebijakan pemerintah tersebut.”
Ia pun menuding data yang dilansir TuK Indonesia merupakan bagian dari kampanye negatif terhadap industri sawit Indonesia. “Mereka merekayasa seolah-olah ada kelompok tertentu yang menguasai lahan tertentu. Padahal semua itu ada prosesnya dan tidak berdiri sendiri karena ada kebijakan pemerintah di awal era pembangunan.”
Lantas, dia membandingkan kondisi industri perkebunan sawit dengan komoditas lainnya. Bila perkebunan sebagian besar dikelola rakyat, malah bakal susah berkembang.
“Lihat apa yang terjadi pada karet dan kakao. Perkebunan karet yang 95 persen adalah perkebunan rakyat kini tengah di ambang kematian. Berbeda dengan perkebunan kelapa sawit, kehadiran perusahaan besar justru menjadi leverage bagi perkebunan rakyat,” katanya.
Diungkapkan, perusahaan memiliki kapital, teknologi, dan sumber daya manusia yang menjadi trickle down effect bagi pelaku perkebunan rakyat. Dengan kata lain, keberadaan perusahaan besar bisa memotivasi karena pelaku perkebunan rakyat bisa belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensi sumber daya dari perusahaan sehingga industri sawit mandiri pun tetap mampu berkembang.