Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Asia Pulp dan Paper (APP), anak perusahaan Sinar Mas Group (SMG), diminta untuk bertanggung jawab menyelesaikan ratusan konflik lahan operasional perusahaan dan pemasoknya di seluruh Indonesia. Tuntutan tersebut berdasarkan hasil asesmen koalisi lembaga swadaya masyarakat (LSM) atas konflik lahan yang terjadi sepanjang 1996 hingga 2017 yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Koalisi LSM mengungkapkan, sejak mulai beroperasi hingga sekarang telah terjadi 122 konflik yang tersebar di lima provinsi operasional APP, yakni Riau, Jambi Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Jumlah ini berbanding lurus dengan semakin luasnya wilayah konsesi perusahaan. Dari hasil asesmen Januari-November 2018 diketahui konflik aktif terjadi di Riau (54 konflik), Jambi (33), Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat (17), serta Kalimantan Timur (1).
Dari 38 pemasok APP, sebanyak 22 perusahaan berkonflik dengan masyarakat di sekitar konsesi. Secara berurutan konflik yang terjadi banyak melibatkan isu sengketa lahan masyarakat/adat, kekerasan/intimidasi/penggusuran, tata batas konsesi dan desa. Selebihnya menyangkut dampak kepada mata pencaharian dan tanaman kehidupan. Selain konflik yang aktif, potensi konflik dapat terjadi di wilayah yang berbatasan dengan APP dan pemasoknya.
Walaupun pada Februari 2013 APP meluncurkan kebijakan pengelolaan keberlanjutan yang dikenal dengan nama Forest Conservation Policy (FCP), implementasi komitmen FCP untuk menyelesaikan konflik masih dipertanyakan. Banyak konflik APP dan pemasoknya dengan masyarakat Riau yang terjadi di masa lalu, tidak jelas penyelesaiannya.
Gabungan organisasi masyarakat sipil seperti, WWF, Auriga, Forest Peoples Programme, Walhi Riau, Weatland International, Hutan Kita Institute (HAki), Jikalahari, Titian, Rainforest Networks, menyoroti banyak kelemahan dari pelaksanaan komitmen itu. Ada tiga alasan yang bisa jadi landasan.
Pertama, soal ketidakcukupan pasokan dari hutan tanaman dan keterlibatan dalam deforestasi. Dalam komitmen itu, perusahaan menegaskan berhenti gunakan kayu dari hutan alam, tetapi APP justru menggalang pendanaan dan mengurus perizinan membangun pabrik bubur kertas baru yang potensial meningkatkan konsumsi kayu sebesar 84%.
Kedua, lambannya solusi konflik terhadap masyarakat. Menurut kelompok masyarakat sipil, dalam pernyataan bersama mereka, APP mengklaim telah menyelesaikan lebih 42% konflik dengan masyarakat, tetapi tak disampaikan ke publik berapa jumlah seluruh konflik, berapa banyak yang selesai, dan bagaimana penyelesaian.
Ketiga, lambannya restorasi dan pertukaran konsesi gambut terdegradasi dengan tanah mineral yang potensial mengganggu hutan alam dan wilayah kelola masyarakat.
Perilaku APP sungguh memperbesar jurang kepercayaan dengan kelompok masyarakat sipil, termasuk yang telah bekerja sama dengan APP dalam pelaksanaan FCP. Greenpeace diketahui telah mengakhiri keterlibatannya dengan APP setelah menemukan bahwa “perusahaan yang terhubung dengan APP/Sinar Mas Group menebangi hampir 8.000 hektare hutan dan lahan gambut”, dan itu terjadi saat APP menyatakan berkomitmen pada FCP.
APP dan anak perusahaannya memiliki rekam jejak panjang yang bergulat dengan isu-isu lingkungan, entah itu terkait sawit, konflik agraria, lahan gambut atau industri kayu yang berkelanjutan. Banyak sekali kontroversi yang mengiringi APP, seperti pada 2010, Greenpeace menuding mereka merusak hutan hujan tropis demi meningkatkan produksi tahunan dari sebelumnya 2,6 juta ton per tahun menjadi 17,5 juta ton per tahun.
Auditor yang mereka tunjuk saat itu membeberkan fakta bahwa SMG menyalahartikan hasil audit dan melakukan pembukaan lahan tanpa izin. APP, yang tercatat sebagai salah satu produsen kertas terbesar sejagad dan aktif mengampanyekan wajah ramah lingkungan, ternyata memiliki hubungan gelap dengan sederet pemasok yang dituding melakukan pembakaran hutan ilegal.
Seperti dipublikasikan kantor berita Associated Press (AP), dalam analisis dokumen setebal 1.100 halaman yang mencatat riwayat 27 perusahaan perkebunan pemasok SMG, semua diklaim sebagai perusahaan independen, tanpa kaitan dengan perusahaan milik Eka Tjipta Widjaja tersebut. Namun, temuan AP membuktikan sebaliknya.
Semua perusahaan tercatat dimiliki oleh sepuluh individu, enam di antaranya merupakan pegawai dan dua lainnya adalah bekas pegawai SMG. Salah seorang pemilik bahkan tercatat memiliki koneksi langsung dengan keluarga Widjaja. Beberapa pemilik tercatat bekerja di bagian keuangan SMG.
Sementara itu, dari jalur hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak berani melawan kejahatan korporasi korupsi sumber daya alam. Jaksa KPK hanya menuntut 2,5 tahun para petinggi SMG, yakni Edy Saputra Suradja, Willy Agung Adipradhana, dan Teguh Dudy Syamsuri Zaldy.
Tuntutan yang hanya 2,5 tahun itu disesali Koordinator Jikalahari, Made Ali. “Komisioner KPK kelihatan malu-malu, segan dan tidak serius menuntut maksimal pada petinggi korporasi. Padahal Komisioner KPK getol kampanye melawan kejahatan korporasi,” katanya.
Edy, Willy, dan Teguh disebut terlibat menyuap pimpinan Komisi B DPRD Provinsi Kalimantan Tengah, yakni Borak Milton, Punding Ladewiq H. Bangkan, Edy Rosada, Arisavanah, dan anggota lainnya. Suap diberikan agar Komisi B DPRD tidak melakukan rapat dengar pendapat (RDP) terkait dugaan pencemaran limbah sawit di Danau Sembuluh Kabupaten Seruyan, tidak ada izin hak guna usaha (HGU) dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPH), dan belum ada plasma yang dilakukan oleh PT Binasawit Abadi Pratama (BAP).
Para terdakwa menyuap uang sebesar Rp 240 juta kepada Borak Milton. Angka itu sesuai permintaan Borak Milton untuk 12 anggota komisi B DPRD Kalteng, masing-masing Rp 20 juta. Para terdakwa meminta Borak Milton untuk meluruskan pemberitaan tentang temuan anggota DPRD yang berasal dari Dapil II, yaitu Kabupaten Kota Waringin Timur dan Kabupaten Seruyan, serta tujuh perusahaan sawit yang diduga melakukan pencemaran di Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan.
Tidak maksimalnya tuntutan JPU KPK terhadap para terdakwa menunjukkan KPK tidak peka terhadap rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat dan ekologis Kalteng. Kehadiran SMG telah merusak lingkungan hidup dan merampas lahan masyarakat.
Berbicara mengenai relevansi antara korporasi dan kerusakan lingkungan, sebelumnya pada 28 Maret 1995, perwakilan dari berbagai negara berkumpul di Berlin, Jerman untuk membahas dan mencari solusi atas kondisi bumi yang memburuk, degradasi lingkungan, pencemaran udara, dan kekhawatiran artifisial menyangkut masa depan umat manusia. Pertemuan itu diberi nama The United Nations Climate Change Conference (UNCCC).
UNCCC berupa perjumpaan formal dari pihak-pihak yang terlibat dalam the United Nations Framework Convention on Climate Change. Pertemuan itu juga disebut Conference of the Parties (COP) di kemudian hari karena menjadi arena semua pihak yang merasa berkepentingan dengan isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hadir dan ikut merumuskan gagasan.
Pada COP III tahun 1997 di Jepang, disahkan sebuah aturan yang mengikat negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas yang dikenal dengan nama Protokol Kyoto. Namun, sebagaimana biasa, segala ketetapan yang lahir dari jejak panjang forum iklim global hingga COP 21 di Prancis yang menghasilkan Paris Agreement justru semakin menjauh dari kampanye awalnya. Karena pemberian konsesi skala luas kepada korporasi tertentu, seperti APP, merupakan bentuk monopoli terhadap sumber daya alam sekaligus menjadi biang dari kemiskinan secara luas.