Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga dan setengah dari rawa gambut tropis kaya karbon di dunia. Hutan dengan ekosistem paling beragam di dunia juga menyediakan penghidupan bagi jutaan rakyat Indonesia. Pada saat bersamaan, banyaknya permintaan pasar terhadap produk-produk komoditas kehutanan membuat hutan terpaksa dialihfungsikan karena bernilai ekonomi.
Kegiatan penebangan hutan sehingga lahannya dapat dialihfungsikan menjadi lahan nonhutan, seperti perkebunan, pertanian, perumahan, disebut deforestasi. Naiknya laju deforestasi tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan atas lahan pertanian dan infrastruktur, serta dorongan pasar yang muncul dari dinamika harga dan kesempatan di sektor pertanian (cokelat dan kelapa sawit) dan pertambangan (batu bara).
Pengelolaan deforestasi yang salah berkontribusi pada insiden kebakaran hutan dan lahan yang memicu protes banyak negara beberapa tahun belakangan ini. Indonesia disebut sebagai negara tropis dengan tingkat kehilangan hutan tertinggi dan menjadi salah satu negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Sebanyak 80 persen emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari deforestasi dan lahan gambut.
Tidak tinggal diam dengan sematan negatif tersebut, Indonesia segera berbenah. Indonesia telah menyatakan komitmennya dalam Conference of Parties (COP) 15 pada 2009 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% (dengan usaha sendiri) dan sebesar 41% (jika mendapat bantuan internasional) pada 2020. Komitmen Indonesia tersebut diperkuat melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang pertama pada November 2016, pemerintah menargetkan pengurangan emisi hingga 29% pada 2020 dan deforestasi tidak boleh melebihi 450 ribu hektare pada 2020 atau 325 ribu hektare pada 2030.
Sebagai bukti keseriusan, terbitlah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, dikenal sebagai moratorium deforestasi. Pemerintah mengklaim kebijakan moratorium dan restorasi gambut menekan laju deforestasi di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.
“Banyak pertanyaan muncul apa yang sudah dilakukan Indonesia sehingga bisa turun,” kata Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Belinda Arunawati Margono, Rabu (8/5/2019).
Belinda menyebut, Inpres No.11/2011 sangat signifikan menurunkan laju deforestasi. Selain itu, upaya pengendalian perubahan iklim termasuk program penurunan emisi dari deforestasi dan pengrusakan hutan (Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus/REDD+), pembatasan perubahan alokasi kawasan hutan (HPK) untuk sektor nonkehutanan, penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH/TORA), pengelolaan hutan lestari, perhutanan sosial, serta rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Hasil pemantauan Kementerian LHK dengan Sistem Monitoring Kehutanan Nasional (Simontana), terjadi penurunan laju deforestasi Indonesia pada 2017-2018 dari 480.000 hektare menjadi 440.000 hektare. Sementara itu, di tingkat global, kesimpulan dari pemantauan hutan yang dilakukan tim dari University of Maryland melalui Global Land Analysis and Discovery (GLAD) dan dirilis Global Forest Watch serta dikutip WRI Indonesia, juga mencatat telah terjadi penurunan kehilangan hutan Indonesia yang signifikan.
Namun, GLAD mencatat dengan sistem, metodologi, dan peristilahan yang berbeda dengan Kementerian LHK, lebih mengangkat istilah tree cover loss, tidak hanya deforestasi atau kehilangan hutan alam, termasuk pemanenan pada hutan tanaman. Bila mengacu pada GLAD yang dirujuk oleh GFW atau WRI pada 2018, angka hutan alam versi Indonesia (primary forest loss) 40% lebih rendah dibandingkan rata-rata tingkat kehilangan hutan tahunan pada periode 2002-2016.
Moratorium Diperpanjang
Berdasarkan pencapaian-pencapaian yang diklaim pemerintah, Kementerian LHK akan melanjutkan moratorium yang sudah dijalankan sejak 2011. “Moratorium akan tetap dilakukan dan komitmen untuk menjaga hutan dan gambut tetap dijalankan. Akan ada Inpres lagi (perpanjangan),” ungkap Belinda.
Ditambahkan, moratorium deforestasi tidak berlaku atas aktivitas: Pertama, semua sektor yang telah memegang izin prinsip dari Kementerian LHK. Kedua, sektor vital untuk pembangunan nasional seperti geothermal, minyak dan gas bumi, listrik, padi, dan gula. Ketiga, perpanjangan izin pemanfaatan/penggunaan hutan. Keempat, restorasi ekosistem.
Bagaimanapun, moratorium tidak akan mampu menahan laju deforestasi, hanya “menyediakan waktu” bernapas bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan mengatur kembali pembangunan ekonomi dan proses perencanaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Moratorium sudah terbukti memberikan dampak pada perekonomian Indonesia. Ekspor hasil hutan, perkebunan, dan kayu mengalami penurunan. Padahal, produk-produk seperti kertas, mebel, dan minyak kelapa sawit bisa dikatakan sebagai penyumbang devisa besar bagi negara.
Kebijakan moratorium deforestasi sejauh ini memang telah memberikan dampak positif terhadap penurunan emisi karbon dan pengalihfungsian hutan. Namun, kita tidak bisa berpura-pura lupa, kebijakan ini juga berdampak negatif, terutama di sektor ekonomi.