Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Harga komoditas minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terus mencatat rekor tertinggi barunya dalam 18 bulan terakhir. Data Refinitiv mencatat, pada perdagangan Rabu (30/10/2019), harga CPO kontrak pengiriman Januari 2020 ditutup di level 2.496 ringgit/ton.
Harga ini merupakan harga tertinggi sejak Mei 2018. Pada 11.18 WIB Kamis (31/10/2019), harga CPO tercatat berada di 2.508 ringgit/ton. Harga CPO naik 0,48% dibandingkan dengan harga penutupan perdagangan kemarin.
Ini tentu menjadi kabar menggembirakan bagi para pedagang minyak sawit dan pemilik perkebunan di Indonesia. Apalagi, menurut analis teknikal komoditas Reuters Wang Tao, harga CPO berpotensi menguji resistensi (batas atas) di level 2.515 ringgit/ton.
Namun, kondisi ini bukannya menghadirkan masalah. Rebound harga CPO berpotensi mengganggu rencana pemerintah untuk “menghijaukan” pasar BBM nasional. Tujuannya untuk dan agar impor migas nasional bisa ditekan sedemikian rupa, termasuk mencapai target kehijauan dan keberlanjutan forum iklim dunia, yang telah disetujui pemerintah.
Sementara itu, data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, jumlah 20% biodiesel yang sudah dicampur dengan solar (B20) sampai September 2019 mencapai 4,49 juta kiloliter (Kl). Angka ini mencapai 68% dari kuota yang ditargetkan, yakni sebesar 6,6 juta Kl.
Jumlah kuota B20 tersebut bertambah 400 ribu Kl dibandingkan dengan Agustus 2019 yang mencapai 6,2 juta Kl. Sayangnya, jumlah itu masih seperti “liliput” dibandingkan dengan jumlah impor BBM secara nasional.
“Impor BBM kita Rp 300 triliun. Maka itu kita mau masuk B30 Januari 2020. Dan pada 2023-2024 kita masuk B100,” ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Berdasarkan harga indeks pasar (HIP) bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel untuk Oktober 2019 sebesar Rp7.358 per liter. Secara umum, nilai penyerapan biodiesel secara nasional akan mencapai lebih dari Rp 48 triliun. Angka ini hanya 16% dari jumlah impor BBM.
Atas dasar itulah pemerintah memastikan penerapan bauran minyak sawit dengan solar sebanyak 30% alias B30 akan dilakukan pada Januari 2020. Penerapan itu bertujuan mengurangi impor migas yang masih tinggi. Penerapan program B30 Indonesia itu berpotensi menaikkan harga CPO internasional karena Malaysia juga berencana menerapkan program B30 tahun depan.
Timbul kekhawatiran, akankah kondisi ini memukul suplai CPO domestik karena potensi kenaikan harga CPO di tengah serapan pasar internasional yang meninggi?
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa pemerintah optimis bahwa penerapan B30 bisa mengurangi impor solar sebesar 8 hingga 9 juta Kl. Jika dirupiahkan, pemerintah bisa menghemat Rp 70 triliun dari impor solar.
“Akan kita hindari impor solar sebesar 8-9 juta Kl. Berapa nilainya, kalikan saja misalkan sekarang HIP untuk solar Rp 8.900 per liter. Kalau 8-9 juta KL sekitar Rp 70 triliunan, berarti sekitar US$ 6 miliar,” ujar Dadan saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta.
Lalu, akankah optimisme itu tetap ada di tengah kenaikan harga CPO internasional?
Tingginya rasa percaya diri pemerintah Indonesia punya alasan kuat karena serapan B20 maupun B30 itu akan ditopang dengan beroperasinya lembaga penyalur BBM Satu Harga di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan terpencil) yang diklaim dan dilaporkan telah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pertamina mencatat kenaikan hingga 696% pada distribusi BBM jenis premium dan 570% BBM jenis solar.
Pada 2017, rata-rata distribusi premium di wilayah 3T berkisar di angka 1.253 KL dan 603 KL untuk solar per bulan. Dua tahun kemudian, angkanya naik menjadi 9.976 KL untuk premium dan 4.037 KL untuk solar.
Dengan meningkatnya distribusi BBM, masyarakat yang tinggal di daerah 3T dapat mengembangkan aktivitas ekonomi mereka dengan baik karena biaya transportasi mengalami penurunan. Sebagai informasi, Jumat (11/10/2019), Pertamina kembali meresmikan tujuh titik BBM Satu Harga di SPBU Kompak 56.86203, Omesuri, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ignasius Jonan yang saat itu masih menjabat Menteri ESDM, berpesan penjualan BBM harus komersial. Tidak hanya menjual solar bersubsidi dan premium, tetapi produk yang lebih baik seperti pertalite atau dexlite.
Memang beralasan jika pemerintah optimis terkait penyerapan biodiesel secara nasional. Harga nonsubsidi yang bakal memberatkan jika dijual di daerah-daerah dengan konsumsi tinggi, berpotensi berubah menjadi berkah jika dilempar ke daerah-daerah 3T. Maklum saja, di daerah-daerah tersebut, harga BBM bisa melonjak sepuluh kali lipat dari harga subsidi akibat mahalnya transportasi pengangkutnya.
Menjual BBM nonsubsidi dengan harga yang telah dipatok pemerintah, berarti penjual di daerah 3T akan berpikir seribu kali untuk melanggarnya. Di sisi lain, mereka juga diberi ruang untuk menikmati keuntungan lumayan karena bersedia menjadi distributor BBM nonsubsidi.