Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Periode kedua pemerintahan Jokowi diperkirakan ada perubahan nomenklatur atau tata nama pada sejumlah kementerian. Biasanya, bongkar pasang nomenklatur terjadi pada kabinet yang baru terbentuk. Salah satu nomenklatur kementerian yang diprediski berubah adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Bagaimana susahnya pisah gabung kementerian? Dan apakah perubahan itu berdampak kepada kelestarian lingkungan hidup dan kehutanan?
Penggabungan dua kementerian bukanlah pekerjaan mudah. Menguras banyak energi dan pikiran. Kepala P2SDM Kementerian LHK Helmy Basalamah mengatakan, saat menjadi Kepala Biro Perencanaan Kehutanan, hal paling merepotkan adalah harus menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kehutanan dan rencana Strategis (Renstra) Kehutanan. Begitu ada penggabungan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Helmy harus mengantisipasi perubahan RPJMN dan perubahan Renstra LHK serta membenahi kelembagaan.
’’Anda bisa bayangkan Ibu Menteri (Siti Nurbaya, Red) masuk dan baru akhir Mei keluar eselon 1. Nah, saya di Biro Perencanaan itu berpikir, bagaimana Dipa harus keluar. Pada 1 Januari itu harus keluar. Orang-orang harus digaji. Sementara organisasinya belum ada (masih ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan). Sekjennya belum ada. Bironya belum ada. Bagaimana suasana saat itu. Bagaimana saya harus menyiapkan Dipa. Padahal Dipanya adalah Dipa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,’’ beber Helmy.
Akhirnya atas arahan Menteri LHK Siti Nurbaya, Helmy diminta membuat pelaksana tugas. Ada pelaksana tugas si a, si b, dan si c. Kemudian Helmy ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
’’Kalau di situ ada 13 eselon 1 pasti masing-masing ada sekretarisnya. Begitu selesai kelembagaannya, kami ke Kementerian Keuangan. Diproseslah di sana. Pertama susah sekali. Tapi alhamdulillah akhirnya berhasil dengan berbagai dinamikanya kami dapat alokasi, meski pejabatnya belum ada dan masih ada dua kementerian. Jadi itulah enaknya seorang Menteri berlatar belakang birokrat. Bisa ngasih arahan,’’ papar Helmy.
Penegakan HukumÂ
Saat kementerian ini digabung, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri LHK Siti Nurbaya juga mempunyai kebijakan untuk menyiapkan lembaga atau organisasi. Siti membuat unit spesialis. Namanya Direktorat Jenderal Penegakan Hukum atau Gakkum.
Dulu penegakan hukum setingkat direktorat di bawah Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Sekarang Ditjen sendiri. Ini tidak ada di tempat lain. Yang mengurus sumber daya alam ada di banyak kementerian. Ada KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), ESDM (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral), Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Mereka tidak ada Ditjen Penegakan Hukumnya. Padahal potensi di sumber daya alam sangat besar. Jika tidak dikelola baik akan menimbulkan kerugian negara sangat besar.
Dirjen Penegakan Hukum, Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani mengatakan, langkah Menteri LHK Siti Nurbaya membuat Ditjen Penegakan Hukum merupakan langkah strategis. Salah satunya, mengatasi kerusakan lingkungan hidup dan kehutanan. Kalau ini dibiarkan akan menimbulkan bencana ekologis dan perubahan iklim. Kalau musim hujan terjadi banjir dan longsor. Musim kemarau kekeringan. Selain itu menimbulkan kerugian negara yang sangat besar.
’’Dalam satu kasus saja kerugiannya sampai miliaran rupiah. Belum kasus-kasus lain di Lingkungan dan Kehutanan. Jika ini terjadi, ujung-ujungnya kewibawaan negara akan terganggu,’’ kata Rasio.
Rasio menjelaskasn, terhitung sejak Mei 2015-Januari 2019, hasil penegakan hukum sudah sangat banyak. Pihaknya sudah membawa 567 kasus pidana lingkungan ke pengadilan. Hampir dua hari sekali kasus itu dia bawa. Itu baru pidana. Belum perdatanya.
’’Kami juga memberikan sanksi administratif kepada perusahaan-perusahaan yang tidak patuh. Ada 541 yang sudah kami berikan sanksi. Sanksinya bermacam-macam. Mulai kami berikan peringatan, perbaikan-perbaikan, hingga pencabutan izin,’’ ungkap Rasio.
Rasio menjelaskan, sebanyak 541 perusahaan yang disanksi ini data hingga akhir Desember 2018. Lalu ada 18 perusahaan yang dia gugat ke pengadilan dan ada 10 yang berkekuatan hukum tetap atau Inkracht di Mahkamah Agung (MA). Nilainya lebih dari Rp18,3 triliun. ’’Ini belum kasus kita yang menang di MA dengan pembayaran ganti rugi Rp1 triliun. Jumlah yang sangat besar. Langkah Bu Menteri ini sangat signifikan. Dan ini bersejarah. Mungkin ini terbesar. Namun kita punya tantangan di eksekusinya. Karena kami tidak punya orang yang mengeksekusi. Mengeksekusi itu dari pengadilan negeri,’’ kata dia.
Mengubah Nomenklatur
Pengamat Administrasi Negara Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah mengatakan, keberanian mengubah nomenklatur kementerian sangat diperlukan. Sebab, hal itu sangat memudahkan gerak program kerja kementerian.
’’Sangat pelu dipisah atau dirampingkan. Karena Presiden harus memperhitungkan tentang kabinet seperti apa yang akan menjalankan tugas ke depan. Ini untuk memberikan kemudahan pemantauan kerja dan anggaran yang diberikan,’’ katanya kepada INDOPOS, Selasa (2/7/2019).
Menurut Lina, ada dampak positif jika ada pemisahaan kementerian. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan lebih hemat. Tapi di sisi lain, perubahan nomenklatur juga membutuhkan biaya.
’’Dengan begitu, terjadi efisiensi dan efektivitas kinerja. Memang harus diingat, ketika nomenklatur diubah, pasti perlu biaya untuk mengganti kop, papan nama, dan banyak hal lain yang kami yakin tidak murah,’’ ujar Lina.
Lina menjelaskan, tugas kementerian maupun lembaga selama ini kerap tumpang tindih. Seperti persoalan pencemaran lingkungan dan pembalakan liar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Selain itu, soal pengembangan desa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes). Kemudian menyangkut soal Aparatur Sipil Negara (ASN) antara Kemendagri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpa-RB) serta Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
’’Lebih baik dipisah, agar tidak tumpang tindih kerjanya. Lagi pula tugas yang dikerjakan berbeda-beda. Inilah yang harus perlu dikaji lagi agar semua tidak berantakan seperti yang sudah berjalan,’’ paparnya.
Kemudian, sambung Lina, pada awal pemerintahan 2014, Presiden Jokowi cukup memerhatikan mengenai pengelolaan birokrasi. Yakni melebur beberapa kementerian. Akan tetapi justru membuat tumpang tindih penanganan tugas.
Sementara itu, Pakar Administrasi Negara, Martani Huseini menuturkan, adanya nomenklatur kementerian oleh Presiden itu harus diimbangi dengan beban kerja yang akan dijalankan. Mengingat, penentuan pos anggaran harus disesuaikan. Karena wilayah kerja kementerian berada di seluruh tanah air.
’’Ini mesti bicara konten. Karena beban kerja menteri ini tak pernah terukur. Bertambah atau berkurang tidak menghitung beban kerja,’’ tuturnya.