Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Belum sepekan diangkat menjadi Menteri Agama, Fachrul Razi membuat pernyataan kontroversial. Jenderal bintang empat itu menyinggung soal aparatur sipil negara (ASN) yang mengenakan celana di atas mata kaki (biasa disebut celana cingkrang) di lingkungan kantor pemerintah. Fachrul beralasan bahwa ASN atau pegawai negeri sipil (PNS) memiliki aturan berpakaian, terutama ketika berada di lingkungan kerja.
Ucapan Fachrul mengundang polemik. Meski menyebut bahwa celana cingkrang tidak bisa dilarang dari aspek agama karena memang tidak ada larangan, ada aturan bagi ASN atau PNS terkait hal tersebut. Menurut Fachrul, semua ASN harus bisa tunduk aturan dan mengikutinya dari atas sampai bawah.
Bukan hanya celana cingkrang, Menteri Agama Kabinet Indonesia Maju itu juga menggulirkan ide tentang larangan pemakaian cadar di instansi pemerintah. Kendati masih wacana, wacana tersebut bisa dikaji dan diseriusi oleh Kementerian Agama.
Fachrul bilang, pihaknya tidak melarang niqob atau cadar, hanya berlaku ketika berada di lingkungan instansi pemerintah. Alasan Fachrul adalah keamanan, belajar dari kasus penusukan terhadap mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, Kamis (10/10/2019).
Ketika diperkenalkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo, salah satu tugas yang diberikan kepada Menteri Agama memang untuk memerangi radikalisme. Lalu, apakah wacana yang digulirkan ini untuk memerangi radikalisme? Banyak pihak yang tidak setuju dengan wacana tersebut.
Pakaian yang dikenakan seseorang, baik celana cingkrang ataupun niqob, bukan ukuran seseorang terpapar radikalisme. Wakil Ketua DPR Komisi VIII yang membidangi agama dan sosial, Ace Hasan Syadzily, mengatakan bahwa Menteri Agama seharusnya berhati-hati dalam memberikan pernyataan agar tidak bisa menimbulkan kontroversi di lingkungan ASN.
Ace mengatakan, seharusnya Menteri Agama melakukan harus melakukan kajian terlebih dahulu dan berdasarkan basis data yang kuat. Memberikan pernyataan terkait keyakinan agama tanpa basis data yang kuat, menurut Ace, bisa berdampak pada persepsi yang salah terhadap pemerintahan Jokowi.
Sosilog Thamrin Amal Tamagola berpendapat, kendati masih wacana, kebijakan tersebut adalah sesuatu yang konyol apabila diterapkan. Menurut dia, tidak seharusnya seorang menteri mengatur pakaian seseorang, kendati dia adalah seorang abdi negara. Menurutnya, setiap agama memiliki aturan tersendiri soal pakaian, dan wacana tersebut justru bisa menimbulkan kontroversi dan kegaduhan di kalangan umat Islam. Tentunya ini bisa berpotensi mengganggu kerukunan di masyarakat.
Pakaian Bukan Tolok Ukur
Jokowi memang berpesan khusus kepada Fachrul soal radikalisme. Sayangnya, radikalisme bukanlah diukur dari cara berpakaian saja. Pakaian tidak bisa menjadi tolok ukur seseorang terpapar radikalisme atau tidak.
Isu radikalisme menjadi liar dan diidentikkan dengan seseorang yang mengenakan cadar atau celana cingkrang. Berdasarkan beberapa kali peristiwa atau kejadian di Indonesia, “identitas” Islam selalu dikaitkan dengan radikalisme, misalnya saja kasus penusukan Wiranto beberapa waktu lalu.
Contoh lain adalah kasus rencana teror yang dilakukan Abdul Basith, mantan dosen IPB yang berencana meledakkan minimarket Indomaret di seluruh Jakarta. Basith diduga juga terlibat dalam kerusuhan dalam demo mahasiswa akhir September lalu.
Radikalisme memang menjadi pekerjaan besar pemerintah untuk memberantasnya. Terlebih lagi sekarang ini paham tersebut rawan menyusup ke masyarakat bawah melalui institusi pendidikan ataupun di lingkungan masyarakat. Termasuk juga ASN.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Suhardi Alius, mengatakan bahwa paham radikal terorisme tak melulu menyasar masyarakat biasa, ASN di daerah juga bisa terpapar paham tersebut. Apalagi ASN bersinggungan langsung dengan masyarakat di lini pelayanan publik.
Masyarakat tak bisa langsung menjustifikasi seseorang terpapar radikalisme hanya melalui pakaian saja. Ada kriteria khusus radikalisme, seperti dinyatakan BNPT. Kriteria radikalisme, pertama intoleran, sikap ini maksudnya adalah tidak siap berbeda dalam berbagai hal. Ini sering menjadi kriteria pertama yang harus dipahami. Kedua, Takfiri, dalam bahasa Arab artinya istilah bagi seseorang yang menuduh orang lain kafir atau murtad. Ketiga, menolak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terakhir, menolak atau tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara.
Pemerintah memang wajib memerangi radikalisme yang sudah mulai menyebar di Indonesia. Namun, kajian yang dilakukan harus kuat dan memiliki dasar. Jangan sampai kebijakan yang bertujuan untuk mengamankan justru berujung pada kekisruhan.