Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Komisi Uni Eropa (UE) mengeluarkan larangan penggunaan crude palm oil (CPO) alias minyak kelapa sawit sebagai sumber biofuel di wilayahnya melalui skema Renewable Energy Directive (RED) II yang dirilis Rabu, 13 Maret 2019. Mereka beralasan bahwa bahwa budi daya tanaman kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi berlebihan. Itu sebabnya penggunaan CPO untuk bahan bakar transportasi harus dihapuskan.
Larangan UE ini jelas-jelas merupakan bentuk diskiriminasi terhadap kelapa sawit sekaligus pernyataan perang dagang terhadap dua produsen terbesar CPO di dunia, Indonesia dan Malaysia. Dua negara ini pun tidak tinggal diam, Indonesia dan Malaysia segera bereaksi terhadap kebijakan diskirminasi tersebut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menegaskan pemerintah Indonesia berencana menggugat Uni Eropa ke Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) World Trade Organization (WTO).
Langkah pemerintah Indonesia menyikapi kebijakan diskriminasi Komisi UE ini diikuti Malaysia. Menteri Perindustrian Malaysia, Teresa Kok, menyatakan bahwa Undang-Undang Delegasi yang dibuat Komisi Eropa tidak didasarkan pada fakta soal biofuel dan konsep tentang deforestasi. Dia juga menuding keputusan Komisi UE jelas-jelas sebagai tindakan proteksionisme perdagangan.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mendukung dan siap berjuang bersama pemerintah di berbagai forum internasional agar produk minyak sawit ditempatkan tanpa diskiriminasi dan setara dengan minyak nabati lain di pasar UE. Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono, menilai sejak awal Komisi UE tidak punya niat baik terkait rancangan aturan Delegated Regulation yang telah mereka setujui pada 13 Maret 2019.
“Sebelumnya Komisi UE berjanji memberikan kesempatan bagi Indonesia dan Malaysia untuk memberikan masukan hingga 17 Maret. Namun, secara sepihak mereka menyetujui sendiri kebijakannya pada tanggal 13 Maret,” kata Mukti.
Keberlangsungan Hidup 20 Juta Pekerja
Menghadapi perang dagang yang dilancarkan Komisi UE, pemerintah Indonesia siap all of cost alias bertarung habis-habisan. Langkah apa pun harus siap ditempuh karena ini menyangkut kepentingan nasional.
Ada kekhawatiran diskriminasi Komisi UE akan punya efek domino terhadap negara-negara lain yang selama ini mengimpor CPO dari Indonesia. Mereka dapat melakukan aksi serupa karena alasan solidaritas lingkungan hidup atau memberikan syarat yang berat terhadap Indonesia.
Dampak dari pelarangan ini akan menyentuh keberlangsungan hidup 20 juta orang pekerja di sektor sawit dan 2,3 juta lebih petani kecil. Oleh karena itu, tak mungkin pemerintah Indonesia tidak melawan karena kewajiban pemerintah adalah membela rakyatnya. Tidak ada toleransi, apalagi jika sudah menyangkut kesejahteraan petani kecil yang selama ini digadang-gadang menjadi prioritas Presiden Joko Widodo.
Selama ini hubungan Indonesia dengan UE sangat baik dalam kerja sama investasi dan perdagangan. Namun, bila UE merugikan kepentingan Indonesia lewat pelarangan CPO sebagai bahan baku biofuel, Indonesia akan melakukan langkah serupa. Contohnya, di sektor penerbangan, yang diprediksi naik tiga kali lipat pada 2034 atau mencapai 270 juta penumpang, Indonesia membutuhkan sebanyak 2.500 pesawat model A320 atau 737-800 atau 737-900. Artinya, dalam 20 tahun ke depan Indonesia akan “investasi pesawat” senilai US$ 40 miliar yang diperkirakan bisa menciptakan 250 juta lapangan kerja di wilayah Eropa dan Amerika Serikat.
Di satu sisi Indonesia membutuhkan pasar untuk CPO, tetapi juga punya pilihan dan posisi tawar. Indonesia bukan negara miskin. Kita negara berkembang dan punya potensi bagus. Indonesia bahkan diprediksi akan menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia pada 2045 dengan gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto mencapai US$ 23.100.
Jadi, UE mestinya sadar bahwa Indonesia tak boleh dipandang sebelah mata.