Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Pernyataan kontroversial dilontarkan Gubernur Jawa Barat (Jabar), Ridwan Kamil. Pria yang akrab dipanggil Kang Emil ini mengatakan akan mengevaluasi jurusan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang ada di wilayahnya. Evaluasi karena selama ini lulusan sekolah vokasional tidak banyak yang terserap dunia kerja.
Kang Emil mengatakan, SMK menjadi penyumbang pengangguran terbesar khususnya di Jabar. Menurutnya, hal ini terjadi karena keberadaan SMK di Tanah Air tidak mengikuti perkembangan zaman. Seharusnya jurusan yang ada di SMK menyesuaikan dengan kondisi saat ini.
Pernyataan Kang Emil sontak membuat kaget. Bukan apa-apa, sebelumnya pemerintah telah mencanangkan program integrasi sekolah vokasi dengan dunia usaha. Untuk itu pemerintah bahkan bersedia memberikan potongan pajak bagi perusahaan yang menyediakan dan memfasilitasi pendidikan vokasi.
Wacana pembubaran tentu membuat siapa pun mengernyitkan dahi. Namun, adalah fakta, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2019, Jabar adalah penyumbang pengangguran terbesar mencapai 7,73% atau kurang lebih 527.186 orang. Menurut Kepala BPS, Suhariyanto, angka nasional untuk pengangguran adalah 5,01%. Tingkat pengangguran terendah berdasarkan provinsi berada di Bali dengan 1,19%.
Data BPS juga mengonfirmasi pernyataan Kang Emil. Data menunjukkan bahwa sebagian besar penganggur dari jumlah angkatan kerja sejumlah 136,18 juta orang adalah lulusan SMK. Berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan masih dipegang lulusan SMK sebesar 8,63%, diikuti lulusan diploma I/II/III angkanya 6,89%, lulusan SMA 6,78%, lulusan universitas 6,24%, lulusan SMP 5,04%, dan lulusan SD 2,65%.
Kenapa Emil begitu berani melontarkan kontroversial tersebut? Apa keterkaitan langsungnya dengan Pemprov Jabar? Begitu kira-kira pertanyaan publik nasional kepada gubernur yang juga dikenal sebagai Arsitek ini.
Menjawab pertanyaan tersebut, publik disuguhi berita sindiran anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP, M.Y. Esti Wijayati, kepada pemerintah daerah (pemda). Anggota dewan yang dikenal sebagai pemerhati dunia pendidikan itu menilai, sampai sekarang belum ada perubahan signifikan dalam pembangunan pendidikan Indonesia. Penyebabnya, tidak adanya komitmen anggaran khusus pendidikan dari pemda.
“Sementara dana alokasi khusus (DAK) di daerah, DPRD-nya tidak punya kewenangan untuk mengawasi karena itu dana dari pusat. Jadi kita harus melihat dua sisi, kebutuhan dan juga pengawasan,” ujarnya usai rapat kerja bersama Kemendikbud di kompleks DPR RI, Jakarta, Senin (24/6/2019).
Ia juga mengatakan, perlu kejelasan aturan keuangan mengenai posisi kewajiban alokasi 20% pendidikan bagi pemda. “Perlu ada regulasi yang jelas mengenai kewajiban penganggaran 20% untuk pendidikan supaya pemda taat,” tambahnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, juga mengakui situasi dan kondisi ini. Dengan setengah putus asa, pria yang dikenal publik sebagai aktivis senior Muhammadiyah ini mengatakan, kementeriannya tidak memiliki daya tekan kepada pemda.
Menurut Muhadjir, hanya tujuh pemda yang mengalokasikan anggaran khusus pendidikan lebih dari 20% dalam APBD tanpa memasukkan dana pusat yang ditransfer ke daerah. Di antara pemda yang menerapkan anggaran khusus 20% pendidikan adalah Provinsi Sumatra Barat, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Kutai Kartanagara, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bangli.
“Hanya 20% provinsi yang mengalokasikan APBD untuk pendidikan, tetapi itu termasuk transfer daerah. Ada 18 dari 34 provinsi yang mengalokasikan anggaran fungsi pendidikan. Kemudian hanya tujuh pemda yang mengalokasikan anggaran pendidikan tanpa transfer daerah atau murni dari PAD,” ujarnya.
Padahal, menurut Mendikbud, alokasi anggaran pendidikan dalam APBN terus meningkat. Alokasi untuk transfer daerah juga mendapatkan porsi yang cukup besar, mencapai lebih dari 62% dalam APBN 2019. “Tahun 2018 transfer daerah sebesar Rp 279,4 triliun, pada 2020 mencapai Rp 308,38 triliun,” ujarnya.
Kritikan terhadap pemda yang masih enggan mengalokasikan dana pendidikan juga datang dari Staf Ahli Mendikbud Bidang Pembangunan Karakter, Arie Budhiman. Dalam sebuah acara, ia mengingatkan agar pemerintah daerah tetap memperhatikan neraca pendidikan daerah (NPD). Jalan keluarnya adalah pemprov, kabupaten, dan kota seyogyanya bisa mengalokasikan minimal 20% dari APBD untuk pendidikan.
Dengan fakta ini, pertanyaan susulan pun muncul bagi Emil. Apakah Provinsi Jabar belum punya program mumpuni terkait rencana serapan anggaran yang lebih besar dari sektor pendidikan? Atau yang paling seram, apakah Jabar tengah kesulitan biaya sehingga terpaksa harus melakukan likuidasi SMK agar tercapai keseimbangan anggaran yang diinginkan?
Sementara itu, tekanan bagi pengelolaan anggaran pendidikan yang efektif dan efisien bagi para penyelenggara negara memang tengah berat-beratnya. Buktinya, awal Juli lalu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengeluarkan pernyataan bahwa Kementerian Keuangan berencana memangkas anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Nilainya tak main-main, yakni hampir Rp1 triliun pada Rancangan APBN 2020. Sebagai gantinya, alokasi anggaran itu akan dialihkan untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Secara logis, jika porsi secara nasional diturunkan, kemungkinan besar nasib serupa akan dialami oleh penyelenggara pemerintahan yang lebih rendah. Dengan besaran program dan aset yang harus dikucuri tak berubah, bahkan berpotensi kian membesar, sudah barang tentu opsi likuidasi menjadi pilihan.
Apakah wacana yang diembuskan Kang Emil masuk akal? Hanya waktu yang bisa membuktikan.