Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Penggunaan buzzer sebagai instrumen politik bukanlah barang baru. Seperti dikemukakan Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dalam penelitian bertajuk The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, fenomena manipulasi melalui media sosial yang terorganisir ini bahkan telah masif terjadi di 70 negara, dan kerap digunakan untuk propaganda politik.
Buzzer sebenarnya adalah instrumen lazim, misalnya dalam dunia marketing. Namun, dalam penggunaannya sebagai instrumen politik, buzzer bertransformasi 180 derajat. Perannya tidak lagi hanya untuk kepentingan promosi, melainkan menjadi strategi penggiringan opini atau mendiskreditkan dan menjatuhkan lawan politik. Singkatnya buzzer menjadi sarana black campaign (kampanye hitam) yang mumpuni.
Rinaldi Camil, peneliti dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) menegaskan bahwa buzzer untuk kepentingan praktis digunakan sebagai sarana kampanye hitam dalam menjatuhkan lawan-lawan politik. Menariknya, buzzer tidak hanya digunakan untuk kepentingan kampanye bagi politisi ataupun partai politik (parpol), pemerintah turut memanfaatkan buzzer sebagai instrumen yang dapat meredam, bahkan membalikkan kritik.
Buzzer Jokowi akhir-akhir ini dikritik karena terlampau militan dalam membela pemerintah. Lihat saja, ketika DPR dan Jokowi dikecam publik akibat banyaknya RUU bermasalah yang mengundang demonstrasi besar-besaran di ibu kota maupun kota-kota lain di seluruh Indonesia, tetap saja para buzzer loyalis Jokowi membabi buta dalam membela junjungannya.
Mereka terus-menerus melakukan tindakan ofensif terhadap kelompok oposisi dengan berbagai ujaran vulgar. Kabar mobil ambulans angkat batu, grup WA anak STM, dan demo mahasiswa ditunggangi aktor menjadi pemberitaan di media. Namun, setelah ditelusuri, semuanya hoaks yang disebar para pendengung politik.
Kini eksistensi “buzzer istana” yang liar justru menjatuhkan pamor pemerintah semakin dalam. Staf kepresidenan pun menyatakan sulit untuk menertibkan buzzer karena tidak ada struktur komando yang jelas.
Keberadaan buzzer saat ini pun dinilai telah sangat meresahkan. Media Tempo menilai, buzzer pendukung Jokowi semakin membahayakan demokrasi karena mereka menjadi bagian dari kepentingan politik jangka pendek: mengamankan kebijakan pemerintah.
Masih dalam pandangan Rinaldi Camil, penggunaan buzzer untuk kepentingan politik mulai digunakan pada 2009. Dalam perkembangannya, buzzer digunakan untuk melawan kampanye hitam dan meningkatkan citra positif kandidat agar berpengaruh terhadap potensi keterpilihan.
Penelitian CIPG pada 2017 menunjukkan istilah buzzer untuk politik mulai populer pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012. Kemudian secara luas untuk kepentingan politik terjadi pada pemilihan presiden (pilpres) 2014 dan akhirnya di setiap pemilu.
Rinaldi menjelaskan, buzzer memiliki kemampuan dalam mengamplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan. Buzzer biasanya memiliki jaringan luas, misalnya punya akses ke informasi kunci, mampu menciptakan konten sesuai konteks, cakap menggunakan media sosial, persuasif, dan digerakkan motif tertentu (bayaran dan sukarela).
Dalam studi di Universitas Oxford yang ramai diperbincangkan, terungkap bahwa Indonesia termasuk dalam negara yang menggunakan media sosial untuk propaganda politik, disinformasi, dan upaya menurunkan tingkat kepercayaan pada media dan lembaga demokrasi.
Dari kajian Oxford, 87 persen negara menggunakan akun manusia, 80 persen akun bot, 11 persen akun cyborg, dan 7 persen menggunakan akun yang diretas. Secara umum, pasukan siber Indonesia menggunakan akun bot dan yang dikelola manusia dengan tujuan menyebarkan propaganda propemerintah atau parpol, menyerang kampanye, mengalihkan isu penting, memecah belah dan polarisasi, serta menekan pihak yang berseberangan.
Buzzer di Indonesia umumnya menggunakan tim kapasitas rendah (Low Cyber Troop Capacity), yang berarti melibatkan sejumlah tim kecil yang aktif selama pemilu atau agenda tertentu.
Kakak Pembina
Sementara itu, mantan Panglima TNI yang kini menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, membantah keberadaan jaringan buzzer yang dipimpin “kakak pembina” dari unsur pemerintahan, seperti rumor yang beredar di medsos. Rumor yang beredar, para influencer medsos yang membangun citra pemerintah itu dikoordinasi langsung oleh KSP.
Moeldoko mengatakan, alih-alih mengomandoi buzzer pro pemerintah, justru Kantor Staf Presiden berulang kali mengimbau agar tak ada lagi kerja buzzer. “Sama sekali tidak, justru kita KSP itu mengimbau ‘sudah kita jangan lagi seperti itu’. Beberapa kali saya sudah ngomong kan?” kata Moeldoko.
Ia juga menepis kabar bahwa dirinya adalah sosok “kakak pembina” para buzzer. “Yang mana lagi? Saya belum pernah baca [istilah] itu,” imbuhnya.
Istilah “kakak pembina” dan “buzzer istana” mengemuka di media sosial setelah akun Facebook Seword.com, media online yang dikenal pro-Jokowi sejak 2014, mengunggah status pada tanggal 1 dan 2 Mei 2019. Dua status tersebut menyebut keberadaan tim media sosial yang menyokong kampanye pemenangan Jokowi di pilpres.
Tim tersebut menerima arahan dari “kakak pembina”, yang dirujuk dengan julukan lain, yaitu “Nick Fury”, dan kompisisi penuhnya hanya diketahui oleh kakak pembina bersama Presiden Jokowi. Bila sebelumnya fenomena buzzer Jokowi adalah tindakan sukarela dari para pendukungnya, kini tak ubahnya sebuah fanatisme sempit yang justru memunculkan antipati publik terhadap Jokowi sendiri.
Namun, bila diketahui bahwa buzzer bergerak atas “pesanan” guna menggiring opini publik dan counter narrative atas ketidakpuasan kinerja pemerintah, tentu akan sangat membahayakan demokrasi dan memberi kesan bahwa pemerintahan Jokowi antikritik. Pada akhirnya kehadiran buzzer Jokowi yang seakan tidak pernah berhenti “menjaga dan mengawal” Jokowi dari kritikan yang sebenarnya positif, akan membuat publik sadar bahwa pemerintah tengah membangun dinding tebal dengan buzzer sebagai prajurit yang selalu menghunus pedang.
Sudah waktunya pemerintah serius menertibkan buzzer Jokowi karena publik semakin muak dengan kehadirannya yang semakin memolarisasi masyarakat Indonesia secara umum, khususnya di media sosial.