Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Hujan sudah mulai turun bersamaan dengan datangnya bulan November. Penduduk Indonesia bersuka cita, terutama puluhan ribu yang tinggal di daerah bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Mereka mungkin berharap, akan lebih baik jika setiap hari turun hujan. Bila dibandingkan jejalan asap yang membuat mereka menderita.
Di tengah maraknya berita karhutla beberapa bulan belakangan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (LHK) justru mengumumkan bahwa luasannya di Indonesia terus menurun. Hingga September 2019 luas karhutla turun 87,41% dibandingkan dengan 2015.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, mengatakan bahwa pada 2015 luas karhutla mencapai 2.611.411 hektare, pada 2016 seluas 438.363 hektare, 165.484 hektare (2017), 510.564 hektare (2018). Tahun ini turun lagi menjadi hanya 328.724 hektare.
Kementerian LHK juga mencatat dari 328.724 hektare terbakar terdiri atas 239.161 hektare atau sekitar 72,8% berada di lahan kering/mineral. Sisanya 89.563 hektare atau 27,2% berada di lahan gambut. “Itu berdasarkan data Kementerian LHK sampai dengan September 2019,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (14/10/2019).
Selain itu, kata Purwadi, luas karhutla Indonesia tahun ini juga lebih kecil dibandingkan dengan karhutla yang terjadi di dunia. Tahun ini karhutla juga terjadi di Amerika Selatan seperti Brasil dan Bolivia, terutama di hutan tropis Amazon, Kanada, dan Rusia. Berdasarkan data, luas karhutla di Rusia mencapai 10 juta hektare, Brasil 4,5 juta hektare, Bolivia 1,8 juta hektare, Kanada 1.828.352 hektare, Amerika Serikat 1.737.163 hektare, dan Australia 808.511 hektare.
Lebih menarik perhatian publik, saat klaim penurunan wilayah terpapar karhutla diumumkan, media The Star dari Malaysia justru menyebut tiga perusahaan Indonesia yang berkantor di Singapura terkait dengan karhutla. Satu perusahaan, Ketapang Industrial Forest, ditutup oleh pihak berwenang Indonesia setelah kebakaran ditemukan di lahannya, memiliki hubungan dengan Sampoerna Agri Resources yang berbasis di Singapura. Dua lainnya, raksasa pulp Asia Pulp and Paper (APP) dan APRIL, juga dikaitkan dengan kebakaran tersebut.
Masalahnya, ketiga perusahaan itu merupakan tulang punggung sektor kehutanan produksi nasional yang juga menopang sektor nonmigas. Gangguan pada kinerja ketiga perusahaan ini akan berakibat pada operasional ekspor nonmigas, apalagi Indonesia tengah mengalami perlambatan di sektor manufaktur.
Diungkapkan Kepala Data Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, industri manufaktur besar dan sedang mencatat pada kuartal III/2019 ini hanya tumbuh 4,35%. Capaian ini melambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (YoY) sebesar 5,04%.
Data BPS bukan isapan jempol belaka. Lihat saja, nilai ekspor produk panel/plywood nasional pada semester I/2019 mengalami penurunan 16,32% dibandingkan dengan semester I tahun sebelumnya. Saat ini terdapat stok puluhan ribu m3 produk panel/plywood yang tidak bisa dipasarkan.
“Lesunya permintaan dunia dan turunnya harga plywood dunia dari rata-rata US$ 800 ke US$ 500 karena dampak perang dagang AS-Cina,” ujar Purwadi, melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (8/7/2019).
Dirinya menambahkan, penurunan nilai ekspor panel/plywood tersebut berdampak besar terhadap berkurangnya permintaan kayu bulat alam dalam negeri, yang berujung pada turunnya harga kayu tersebut.
Pajak Ikut Turun
Konfirmasi tersebut tentu menyalakan alarm bahaya. Menurunnya kinerja sektor industri akan berakibat pada menurunnya pendapatan negara, dalam hal ini pajak. Sudah jadi rahasia umum, potensi shortfall pajak Indonesia pada akhir 2019 bisa mencapai lebih dari Rp 200 triliun, terindikasi dari penerimaan sampai dengan 7 Oktober 2019 hanya mencapai Rp 912 triliun. Angka tersebut hanya bertambah sekitar Rp 110 triliun dari realisasi Januari-Agustus 2019 senilai Rp 801,16 triliun.
Jika sumber pendapatan melemah, baik pihak swasta maupun pemerintah harus mencari sumber likuiditas dengan biaya yang lebih mahal di masa depan. Tak mengherankan bila dengan informasi yang ditunjukkan LSM dan para penggiat lingkungan atas ketiga perusahaan tersebut, baik pemerintah Indonesia maupun Singapura memilih bersikap hati-hati. Tak lain karena kinerja ketiga perusahaan itu membawa manfaat pajak dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia sekaligus meningkatnya kuantitas bisnis keuangan bagi Singapura sebagai negara penyedia jasa.
Inilah mengapa, sikap datar Badan Lingkungan Nasional Singapura (NEA) menjadi tak begitu mengherankan ketika ditanya respon yang lebih tegas atas fenomena kabut asap dan potensi keterlibatan ketiga perusahaan itu. NEA memilih menjawab secara diplomatis, bahwa mereka sedang memantau situasi dengan seksama, meskipun belum mengambil tindakan terhadap perusahaan di bawah Undang-Undang (UU) tentang Polusi Asap Lintas Negara.
UU tersebut menargetkan mereka yang menyebabkan atau membiarkan kebakaran jika pembakaran menghasilkan tingkat kabut asap yang tidak sehat di Singapura — didefinisikan sebagai nilai Indeks Standar Pencemar (PSI) 24 jam sebesar 101 atau lebih besar selama 24 jam atau lebih — dapat didenda hingga US$ 100.000 sehari, maksimal US$ 2 juta. Namun, belum ada denda yang dijatuhkan sejak undang-undang disahkan pada 2014.
Lebih lanjut, berita tentang kemungkinan keterkaitan tiga perusahaan itu dengan kabut asap yang menimpa Singapura juga disuarakan oleh situs berita kehutanan Indonesia, Foresthints. Mereka memublikasikan artikel yang mengatakan bahwa kebakaran telah terdeteksi di wilayah APP dan APRIL.
Mengutip data informasi satelit dari pemerintah Indonesia, artikel itu mengatakan karhutla terdeteksi di wilayah konsesi APP di Sumatra dan Kalimantan. Di Provinsi Jambi, Sumatra, kebakaran terdeteksi di Wira Karya Sakti (WKS), area konsesi kayu pulp APP. Artikel tersebut juga menyebut Kementerian LHK Indonesia telah menyegel area konsesi di Kalimantan Barat. Dalam artikel itu disebutkan bahwa perusahaan berdalih insiden terjadi di dekat wilayah konsesi mereka.
Tak hanya mengulas perusahaan Grup Sinar Mas APP, artikel hutan itu juga menyatakan bahwa salah satu wilayah konsesi yang dimiliki APRIL dan salah satu pemasok utama di Provinsi Riau, Sumatra, juga telah disegel oleh pemerintah Indonesia pada Agustus karena kebakaran.
Sebagai tanggapan, APRIL mengatakan dalam artikel itu, bahwa mereka melaporkan semua kebakaran di wilayah konsesinya. Mereka terus bekerja dengan polisi setempat dalam melaporkan dan menyelidiki setiap insiden kebakaran.
“Ini termasuk investigasi pendukung yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata juru bicara APRIL, menambahkan bahwa pekerjaan dilakukan untuk melindungi area yang terbakar di area konsesi dari kerusakan lebih lanjut setelah investigasi polisi.
Perusahaan ketiga dengan tautan ke kabut asap, dan kantor Singapura, adalah Sampoerna Agri Resources. Pada September, Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar, menunjuk Ketapang Forest Industry sebagai perusahaan terafiliasi Singapura yang berada di antara perusahaan dengan perkebunan yang ditutup oleh pemerintah Indonesia setelah kebakaran terdeteksi di wilayah konsesi mereka. Hutan Industri Ketapang adalah anak perusahaan perkebunan karet Sampoerna di Provinsi Kalimantan Barat.