Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Notice: Undefined offset: 1 in /home/zau5zd45gt71/public_html/beritapolitikhijau.com/wp-content/themes/jnews/class/ContentTag.php on line 86
Kondisi industri manufaktur Indonesia dikabarkan mengalami ekspansi luar biasa. Paling tidak itu yang diumumkan oleh Bank Indonesia (BI) terkait indeks manufaktur nasional. Namun, di tengah optimisme tersebut, muncul kegamangan. Berita kelesuan datang dari sektor tekstil, yang menjadi salah satu penyumbang tenaga kerja paling besar.
Saking mengkhawatirkan, Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) berani memperkirakan bahwa neraca perdagangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) akan defisit dalam 3 tahun ke depan. Menurut Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal APSyFI, melihat kinerja perdagangan sektor TPT sejak 2007 hingga tahun lalu, rata-rata pertumbuhan ekspor hanya 3,1%, sebaliknya pertumbuhan impor mencapai 12,3%. Surplus TPT terus tergerus dari US$ 6,7 miliar menjadi US$ 3,2 miliar.
Padahal, di negara tetangga Vietnam, neraca perdagangan TPT justru meningkat dari US$ 2 miliar menjadi US$ 26 miliar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Kondisi ini menunjukkan, industri TPT dalam negeri tengah menghadapi masalah serius.
Redma mengatakan, pada semester I tahun ini, impor naik sekitar 7% secara tahunan senilai US$ 4,4 miliar. Diperkirakan pada akhir tahun neraca perdagangan TPT hanya surplus senilai US$ 2 miliar.
Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan impor TPT mengalami lonjakan terburuk dalam 5 tahun terakhir, yaitu sebesar 13,8%, sedangkan ekspor hanya naik 0,9%. Dengan demikian, surplus neraca perdagangan tergerus sebesar 25,5%.
Perubahan Perilaku?
Dalam skala pasar yang lebih mikro, kabar penurunan pun datang dari pasar domestik. Walaupun tak ingin mengakui secara gamblang, kepada media, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Stefanus Ridwan, mengakui bahwa telah terjadi penurunan geliat bisnis pusat-pusat belanja, khususnya di International Trade Center atau ITC. Dia mengakui, saat ini ITC tak lagi semenarik dulu.
Penurunan kinerja bisnis diklaim baru terjadi di ITC yang berada di DKI Jakarta saja. Asosiasi mengklaim, perubahan pola perilaku konsumen menjadi biang keladinya.
“Kalau di luar kota Jakarta nggak ada penurunan sebab mereka masih diterima toko, meski cuma kios-kios. Buat mereka masih oke. Yang di kota besar, tuntutan makin berat. Kalau di sana (luar kota) memang tujuannya mau beli barang. Dia sudah enjoy. Jakarta sudah nggak enjoy lagi,” kata Ridwan.
Keluhan dari para pedagang maupun pemilik ITC memang kian menggema. Anehnya, kondisi ini terjadi ketika mereka justru berkesempatan mendapatkan barang dagangan lebih murah dengan kondisi membanjirnya impor, khususnya tekstil. Apakah ini menjadi bukti sahih telah terjadi penurunan daya beli? Belum ada satu pun yang berani memastikan.
Yang menarik, para pelaku industri tekstil, terutama produsen benang dan serat, sudah mulai mengurangi produksi sejak awal tahun. Penyebabnya jelas: permintaan lesu sebagai imbas dari banjir produk impor yang semakin melonjak sejak tahun lalu.
Redma menambahkan, pabrikan mengurangi kapasitas produksi sebesar 15-20% karena permintaan di sektor hilir berkurang. Kebutuhan di sektor pengguna lebih banyak diisi oleh produk impor. Terlihat dari peningkatan konsumsi pakaian jadi, tetapi serapan produk benang dan serat dalam negeri tidak mengalami pertumbuhan.
Sektor pembuatan kain, yang merupakan industri pengguna benang dan serat, terpuruk karena banjir impor. Redma mengatakan, saat ini tingkat utilitas produksi di sektor pertenunan, perajutan, dan pencelupan kain hanya berada di level 40%.
“Hingga semester I/2019, anggota kami tidak ada yang stop produksi, tetapi mengurangi 15-20% produksi,” ujarnya dalam Evaluasi Kinerja Industri Serat dan Benang Filamen Semester I/2019 di Jakarta, Rabu (10/7/2019). “Konsumsi pakaian Indonesia tinggi, tetapi larinya enggak ke kami.”
Keluhan dari asosiasi para pengusaha benang ini senada dengan para pengusaha toko dan ITC. Konsumsi pakaian terbilang tinggi, sayangnya bukan lari ke pengusaha lokal. Jika di tingkat pedagang dan produsen sudah kompak seperti ini, apakah masih bisa memungkiri? Kira-kira begitu pertanyaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Ancaman lain dari rendahnya utilitas produksi domestik tentu tak hanya terkait dengan daya konsumsi. Yang paling fatal adalah sektor ketenagakerjaan. Seperti kita tahu, sektor tekstil adalah salah satu penyumbang terbesar bagi Indonesia.
Cecep Setiono, Wakil Ketua APSyFI, menuturkan bahwa perusahaannya merupakan produsen purified terephtalic acid (PTA) yang memproduksi bahan baku untuk serat. Pabrik PTA ini harus berproduksi nonstop 24 jam. Jika berhenti, biayanya sangat besar. Di tengah permintaan domestik yang lesu, pabrikan bimbang karena mesin harus terus berproduksi.
“Kalau kami menurunkan kapasitas produksi, kualitasnya bisa turun. Kalau berhenti sama sekali, biayanya mahal,” katanya.
Berdasarkan pengakuan tersebut, tentu sebagai pebisnis, mereka akan berusaha sekuat tenaga menahan laju kerugian operasional. Salah satu yang paling rasional, apa lagi bila bukan mengurangi jam kerja, termasuk melakukan pemotongan jumlah karyawan.
Pemerintah Indonesia bukan tak sadar atas ancaman yang dari sektor tekstil ini. Oleh karena itu, baru-baru ini diluncurkanlah insentif super deduction tax. Pemotongan nilai pajak penghasilan hingga 300% bagi institusi yang memfasilitasi pendidikan vokasi dan melakukan riset dan pengembangan terkait bisnis mereka. Sebelumnya pemerintah juga telah melakukan memberikan fasilitas pemotongan pajak bagi sektor yang sama sebesar 30% untuk pajak badan.
Sayangnya fasilitas fiskal ini ditanggapi dingin oleh para pengusaha. Insentif pajak dinilai kurang tepat sasaran bagi industri tekstil. Kepastian pasar lebih dibutuhkan para pelaku sektor ini.
Menurut Redma, investasi di sektor TPT akan marak jika pemerintah membatasi impor dan menyediakan pasar di dalam negeri. Pasalnya, saat ini pabrikan enggan ekspansi karena serapan pasar domestik yang kurang akibat banjir produk impor.
“Dikasih insentif pajak hingga 300%, tetapi nggak bisa jualan, buat apa? Lebih baik kami tidak dapat insentif fiskal apa pun, tetapi bisa jualan,” ujarnya.
Redma menyatakan, sebelum insentif super deductible tax, pemerintah telah menyediakan insentif perpajakan berupa tax holiday dan tax allowance, tetapi tidak banyak pelaku industri TPT yang memanfaatkan. Menurutnya, masalah utama di sektor tekstil bukan pada insentif yang kurang, tetapi impor yang tidak dikontrol sehingga produk tekstil nasional kehilangan pasar domestik.